mass

Bagi sebagian orang Indonesia, kelas-kelas motivasi yang marak diselenggarakan akhir-akhir ini menjadi sebuah pemuas dahaga akan mimpi dan ambisi. Kelas-kelas ini begitu bertaburan dimana-mana, bagaikan cendawan di musim hujan. Berbagai tema untuk meraih KESUKSESAN ditwarkan dengan berbagai rasa dan varian. Tentu saja yang paling laris adalah tema-tema seputar kesejahteraan finansial, kemapanan tanpa modal, kemampuan manajerial dan tidak ketinggalan kesalehan emosional dan spiritual.

Paket-paket yang ditawarkan dari kelas-kelas motivasi yang kurikulumnya tidak bisa diintip ini dipercaya menjadi anak tangga dalam menggapai kesuksesan. Kesuksesan itu dipercaya telah amat dekat, bahkan tak jauh didepan mata, sedekat teriakan Selamat Pagi hingga Salam Zuppperr.

Konsumen kelas-kelas motivasi menjadi semakin percaya bahwa kesuksesan telah di depan mata dengan melihat langsung figur sang motivator. Beberapa dari mereka mungkin bermimpi pula menjadi motivator suatu saat nanti. Motivator adalah simbol manusia paripurna yang sukses secara multidimensi, yang sabdanya layak diikuti bahkan dengan mengeluarkan sejumlah uang yang disebut investasi.

Mengapa motivator semakin sukses dan sukses (baca: semakin kaya)? Tidak terpikirkah dari mana sumber kekayaan mereka yang mereka pamerkan kepada anda sebagai inspirasi itu. Jawabnya tentu sangat sederhana. Andalah yang menjadi sumber kesuksesan mereka. Andalah sesungguhnya yang menjadi angsa-angsa emas yang telurnya mereka pungut.

Tidak percaya? Mari saya berikan sebuah ilustrasi nyata.

Bayangkan seorang motivator membuka sebuah kelas pelatihan holistik (katakanlah begitu namanya). Paket pelatihan ini akan mereka tawarkan dengan harga 20 juta dimana didalamnya terdapat sebuah jenjang program yang terdiri dari 2x ceramah, 2x coaching dan 1x business gathering. Kegiatan ini akan diselesaikan dalam waktu 2 tahun dimana jadwalnya akan ditentukan sendiri oleh lembaga kepunyaan motivator.

Biaya 20 juta ini wajib disetorkan didepan dengan alasan untuk komitmen belajar, dan ditambah dengan iming-iming uang investasi akan dikembalikan 100% pada akhir pelatihan, dengan kondisi tertentu misalnya prestasi terbaik. Pada kenyataannya ada juga biaya pelatihan yang tidak dikembalikan 100%.

Kemanakah uang 20 juta per peserta ini perginya? Dengan cerdiknya sang motivator memutarkan uang ini pada berbagai instrumen keuangan, baik yang beresiko rendah maupun beresiko tinggi. Salah satu contoh penggunaan uang yang termasuk beresiko rendah ini adalah dengan mengikuti program jual beli emas batangan yang diselenggarakan sebuah agen internasional. Sebut saja GT**

Biaya pelatihan yang dikumpulkan dari peserta ini akan mereka jadikan modal penyertaan untuk membeli emas batangan dari PT. Antam lewat agen ini. Sang agen akan membeli emas dengan harga normal namun karena kepiawaiannya dalam memproses emas batangan menjadi perhiasan, agen mengaku bisa meningkatkan harga emas per kilogram dari 540 juta  menjadi 700 juta. Selain itu agen juga mengaku bahwa mereka memperoleh keuntungan dari selisih harga emas regional dan karena membeli langsung dari pabrik dengan diskon 20%. Efisiensi yang mereka lakukan dalam proses distribusi emas perhiasan ke konsumen juga menambah pundi-pundi keuntungan mereka, ditambah lagi selisih keuntungan yang diperoleh dari penjualan emas yang sebenarnya sudah mereka timbun sejak 5 tahun yang lalu.

Dengan skema ini si agen berani memberikan pengembalian bonus berupa cash back sebanyak 2% sampai 5% perbulan kepada pemodal mereka dalam hal ini para motivator dan lembaga training center mereka. Setelah satu tahun modal yang disetorkan motivator akan dikembalikan (tergantung perjanjian awalnya).

Bayangkan berapa modal yang diraup oleh sebuah lembaga training dari penyelenggaraan kelas-kelas motivasi semacam ini. Pantaslah mereka semakin sukses dan semakin kaya. Uang mengalir masuk tanpa henti dan berkembang biak dengan investasi yang mereka lakukan.

 Tentunya tidak semua lembaga training memiliki modus pembiayaan seperti ini, namun dengan skema keuntungan yang ditawarkan pedagang emas tadi, motivator mana yang tidak tergiur?