Apalah artinya dirimu sehingga ku memujamu dengan darah dan air mata?
Mantra apakah yang telah kau tiupkan pada sanubariku?
Hingga dengan bangga aku mengangkat senjata demi dirimu
Dan tanpa sengaja kukorbankan para balita
Apalah arti warnamu sehingga naik derajatmu sebagai kain?
Merah putih kata mereka, lalu kau disucikan
Kuning Merah Hitam kataku, lalu kau kutinggikan
Hijau kata yang lain, lalu kau mereka keramatkan
Aku membawamu berlari dengan bangga
Ku lompati batas-batas negeri
Ku ikat engkau pada sebuah tiang yang kutancapkan
Maka jadilah aku penguasa
Aku membawamu setia dalam ranselku
Kukibarkan dengan tanganku disela-sela desingan kematian
Ku jadikan engkau pembalut lukaku
Maka jadilah aku pahlawan
Aku membawamu kesetiap lapangan bola yang kukunjungi
Aku membawamu kesetiap demonstrasi yang kuhadiri
Aku membawamu berpawai kesekeliling kota
Aku menciumimu pada setiap upacara
Agung nian engkau bendera. Siapakah engkau sebenarnya?
Sakti benar engkau bendera. Hingga darahku ingin kusamakan warnanya denganmu
21 comments
Comments feed for this article
June 6, 2007 at 12:41 pm
Death Berry Ille-Bellisima
Wah, sering buat puisi…? Hahahaha, saya juga. 😀
June 6, 2007 at 1:07 pm
Fadli
Iya nih kang, biasanya metafora lebih gampang ditumpahkan lewat puisi.
Tapi bentuk seperti diatas tidak saya sebut puisi, mungkin cuma semacam gurindam, atau tulisan berima.
June 6, 2007 at 1:11 pm
Master Li
Semangatnya kerasa banget! Rimanya juga bagus. 😀
June 6, 2007 at 3:44 pm
Ma!!!
ahh,, sesama jago puisi,, sama Shan In dan DeBe maksudnya,,
Ma yang puisi retard terpaksa miris sendiri,, hikss,,
June 7, 2007 at 1:15 am
antosalafy
Segala puji hanyalah milik Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang berhaq untuk diibadahi kecuali Dia. Adapun selain Allah adalah batil. Allahu yahdikum. Wallahul musta’an wa ilallahil musytaka.
June 7, 2007 at 3:16 am
Suluh
buatin aku puisi dong mas… 😀
June 7, 2007 at 5:33 am
kikie
aku nda tau apakah ini sungguh sajak (puisi, atau gurindam, atau … ah, skor matapelajaran bahasa & sastra saya dulu cuma 70-an 😀 ) yang berniat tuk mengungkapkan puja terhadap bendera atau sebaliknya …
soalnya ada bagian “… dan tanpa sengaja kukorbankan para balita …”
siapakah bendera itu sebenarnya?
siapakah
pancasila
itu
sebenarnya?
ketika simbol dipuja, kenapa maknanya sering terlupa?
ah, maap jadi melantur di blog orang ^^
June 8, 2007 at 6:49 am
Fadli
@Master Li
Ini juga terinspirasi dari karyanya Master 🙂
@Ma!!!
Nggak usah miris Ma, Ma khan juga punya specialty sendiri. Ma jago bikin cerita2 spontan.
@antosalafy
Aduh akhi, ini teh kiasan. Jangan ditafsirkan secara denotasi literal gitu donk. Ini khan konotasi. Akhi pasti ngertilah (denger2 dulu katanya mahasiswa sastra UI). Saya nggak bisa lepas dari kata-kata kiasan, ini sudah mendarah daging secara budaya. Sama halnya dengan plesetan bagi orang Jogja, atau tingkatan bahasa bagi orang Jawa.
Nanti apajadinya kalau satu ketika saya mengeluarkan peribahasa
“Beruk dirimba disusukan, Anak dipangku dilepaskan”, masa Akhi akan menerjemahkan bahwa saya menganjurkan orang menyusui beruk.
btw terima kasih atas doanya walaupun saya merasa sedikit tertampar oleh doa itu. Saya seolah-olah baru saja terjerumus dalam lembah kemusyrikan sehingga harus didoakan seperti itu.
barakallahu fiikum.
@Suluh
Boleh mas, mau wordbased atau bytebased. Klo wordbased tarifnya Rp.5/kata, klo bytebased Rp.2500/kb. Murah koq 😀
*bletax, ditimpukin sastrawan sebenarnya*
@kikie
Bendera adalah suatu simbolaisasi yang paling fenomenal. Ia bisa mewakili negara, ormas, partai atau klub sepakbola.
Setiap “Aku” dalam baris-baris tulisan saya menyindir orang yang berbeda-beda. Contohnya untuk yang menyangkut soal balita itu, yang saya maksud adalah tentara amerika yang sedang memperjuangkan benderanya di seantero negeri.
Saya sebenarnya prihatin, ada orang yang bakubunuh hanya karena sebuah bendera partai/ormas dirobek. itu saja.
nggak ada hubungannya sama pancasila pancasila-an.
June 8, 2007 at 8:14 am
antosalafy
Kiasan?
Oh…kiasan
Banyak orang membuat kiasan,
namun justru kiasan telah melemparkan pelakunya ke dalam jurang.
Duhai kiranya orang-orang hanya mengucapkan ayat dan hadits,
tentu itu lebih baik bermilyar-milyar kali dari untaian kiasan.
Oh…kiasa itu tiada guna
Hati-hatilah dalam membuat syair seperti itu.
Bisa jadi akan menjatuhkan pelakunya kepada kesyirikan.
Betapa banyak orang mengucapkan sesuatu,
tetapi tidak mengerti apa yang diucapkan.
Betapa banyak orang terjatuh kepada kekafiran,
padahal hanya sekadar bergurau.
Tiada ucapan yang lebih indah selain kalimat LAA ILAHA ILALLAH.
Addinu nasihat…
akhukum fillah
Abu Maulid
June 8, 2007 at 8:18 am
antosalafy
Koreksi salah ketik….(yang benar) LA ILAHA ILLALLAH
June 8, 2007 at 8:40 am
Fadli
Kiasan yang seperti apa dulu. Antum kalau mencermati syair-syair Arab yang penuh puji puja duniawi (eg. memuja perempuan) jangan dibanding bandingkan dengan kiasan-kiasan yang saya fahami. Saya lihat disini ada jurang perbedaan persepsi budaya . Ditempat asal saya, kiasan itu tujuannya untuk mengkritik diri sendiri atau orang lain (namun dalam kalimatnya diarahkan kediri sendiri).
Yaah mudah-mudahan segenap puak Minang dan Melayu tidak pada jatuh kejurang, malang benar nasib mereka hanya karena bersopan santun dengan kiasan.
Saya tidak menentang kutipan ini, Saya hanya mempertanyakan relevansinya.
Sungguh indah kutipan diatas.
Betapa bodohnya saya sehingga gara-gara tulisan diatas saya hampir terjatuh dalam kesyirikan .
Betapa bodohnya saya, hingga apa yang saya ucapkan ternyata saya tiada mengerti.
(catat, 2 kalimat saya barusan juga kiasan. Saya tidak akan kaget kalau ada yang menafsirkan secara literal lalu berkomentar, “Yaa, antum memang Jahal”. Soalnya saya sudah pernah mendengarnya)
Setuju tanpa syarat.
====================================================
Bahkan Rasullullah SAW pun pernah bertanya kepada seorang petani bagaimana cara bercocok tanam yang benar.
*fikirkanlah jika sempat*
Jazakallahu
June 9, 2007 at 4:31 am
joesatch
Hohehehohohihihi…
Sobrun, Mas.
Allah lebih tau tentang hati kita, kok. Allah lebih tau tentang maksud kita dalam bersastra. Dia kan Maha Sastrawan.
Ayat Al Qur’an juga banyak yang pake kiasan, kok 🙂
Eh, kalo dari head to head di atas, apa boleh ya saya ngambil kesimpulan kalo anak Ilkomp UGM jauh lebih paham masalah sastra ketimbang yang malah anak Sastra UI?
Ah, kayaknya tidak. Ini semua cuma masalah oknum sahaja, hehehe!
*Hati-hati mulai sekarang, Mas. Mungkin nasib Mas bakal sama seperti saya atau malah Teguh Wadehel*
June 10, 2007 at 2:42 am
telanjang
Seni juga berasal dari Allah. tulisan diatas berarti sebuah art, bukannya mau terjerumus kedalam sebuah kesyirikan lho!
teruskan, great posting. bakat dlm sastra bukan suatu kesalahan atau kekurangan. justru karunia yg diberikannya.
peace dan salam.
June 10, 2007 at 3:44 pm
joesatch
antosalafy:::
lho, bukannya orang-orang (yang ngaku) salafy sendiri juga suka main kias2an?
Itu saya ambil dari komennya sodara semanhaj antum di tulisan ana, lho…
Hayo… Hayooo…!!!
Jadi, menurut antum, apakah orang-orang yang (menurut pandangan antum) tidak bermanhaj salaf (seperti definisi yang antum anut) berarti tidak boleh bermain kiasan? Apakah yang boleh bermain kiasan cuma orang-orang yang sudah bermanhaj salaf (seperti definisi yang antum anut, lagi-lagi)
June 11, 2007 at 5:41 am
Fadli
@joesatch
Nggak apa-apa lah Joe, yang penting masalah ini tidak usah dibesar-besarkan, buang-buang waktu saja. Terimakasih atas komentarnya. Biarlah yang usang segera berlalu, yang baru segera datang. setuju?
@telanjang
Wallahu’alam. Terimakasih atas komentarnya. Terimakasih atas kunjungannya
June 11, 2007 at 9:47 am
antosalafy
“Aduh akhi, ini teh kiasan….”
Konteksnya ini. Kemudian, beberapa orang tidak sabar dan tidak cermat dalam membaca, lalu buru-buru menimpali tanpa tahu permasalahan. Akhirnya, sekarang keluar konteks.
Kata itu masih terpampang di sana,
tapi konteksnya sudah tidak lagi pada papan itu.
Sebetulnya niat ana cuma mau nasihati jangan berlebih-lebihan mengagungkan benda. Akhirnya, ini saya sudahi sampai di sini drpd debat kusir.
June 11, 2007 at 9:49 am
antosalafy
Ana mohon maaf jika ada kesalahan dalam ucap dan tutur kata. Barakallahu fiik
June 11, 2007 at 10:08 am
joesatch
yeah, ini semua kiasan. begitu baca pertama pun ana sudah tau, dan tidak dilanjutkan dengan tendensi ingin menyalahkan 😀
keluar konteks? wah, ana ga liat yang keluar konteks, kok. semuanya masih bahas masalah “kiasan”
Ana juga mohon maaf jika ada kesalahan dalam ucap dan tutur kata. Barakallahu fiik
June 11, 2007 at 10:28 am
Fadli
@antosalafy
Wa iyya kum.
Saya juga minta maaf jika telah menyinggung perasaan akhi dan terlanjur emosi. Ini karena saya menafsirkan akhi menghakimi seluruh kiasan dengan kalimat
yang saya anggap adalah pendapat pribadi akhi yang tanpa dalil. Kalau begitu kita sepakat untuk mengakhiri ini. Saya terima nasihat akhi dan saya ucapkan terimakasih. Jangan segan untuk berkunjung kesini lagi. Semoga d’Ranah tetap teduh dihati.
@joesatch
Wa iyya kum.
Semoga dengan saling memaafkan kita dapat memulai untuk saling memahami, karena memahami adalah pintu komunikasi. Kepada Akhi Anto, Mas Anindito Baskoro, mari kita lebih cerdas lagi dalam belajar. Tidak semua yang kita anggap itu benar kecuali kita terlebih dahulu mengenalinya. Alangkah sia-sia jika kita bertindak dan berucap hanya atas prasangka. Alangkah rugi ketika menghakimi dari suatu tempat yang jauh.
Cermat mata hati, Pikir pelita hati.
Regards untuk Anda berdua.
Tetaplah berjuang dijalan yang Anda yakini.
Saya yakin dan berprasangka baik, Anda berdua punya suatu tujuan baik.
Terlepas dari metode yang Anda berdua pakai.
Wassalam.
June 11, 2007 at 6:20 pm
joesatch
yuhuuuuu…
setuju dengan asdos saya
kekekeke
July 30, 2007 at 6:34 pm
dodol
ada yang punya makna dan arti dari bendera jerman